Ahad Wage, 23 Juni 2019, waktu rutinan ngaji matan burdah selalu dilaksanakan di Pondok Roudhotuttullab Sendang Duwur, Paciran, Lamongan. Saya yang biasanya naik mobil, kebetulan mendapatkan bagian naik bus sejak dari terminal Osowilangun. Dari Pasuruan ke terminal Osowilangun, saya diantar oleh Ayah mertua dan keluarga.
Kebetulan, saya sedang membawa buku manaqib Mbah Djalil Tulungagung yang kurang beberapa halaman lagi habis saya baca. Saya manfaatkan kesempatan naik bus dari terminal Osowilangun menuju Paciran, Lamongan.
Kebetulan, dalam bab-bab terakhir diceritakan kisah Mbah Djalil yang mencoba ilmu tawakkal dengan mengajak salah satu santri beliau. Beliau berangkat ke Jakarta PP Tulungagung hanya berbekal tiket dan tidak dilarang membawa uang sepeser pun. Singkat cerita, ada saja pertolongan Allah SWT selama perjalanan.
Setelah membaca cerita itu, saya pun senyum-senyum sendiri di dalam bus sambil membayangkan kok bisa begitu. Akhirnya, saya mengalami kejadian yang lucu menurut saya, tidak mirip tapi ada kesamaan sedikit.
Kebetulan, bus Armada Sakti yang mengangkut dari Paciran ke Surabaya terakhir mangkal pukul 4 sore, sedangkan ngaji burdahnya selesai sekitar pukul 5 sore dan kalau dihitung dengan perjalanan pulang ke rumah Bapak saya, sekitar 30 menitan. Saya pun santai saja karena biasanya, dulu sewaktu sering naik bus Armada, bus ini berangkat terakhir pukul 7 Malam. Saya pun berkehendak pulang setelah salat Maghrib dan ternyata……
Bus benar-benar berangkat pukul 4 sore, dari beberapa informasi tetangga dan orang-orang yang berpapasan dengan saya. Kebetulan, ada teman dari Jombang yang waktu itu bareng dengan saya. Setelah dari rumah Bapak, saya pun berjalan saja keluar, sambil menoleh ke kiri dan ke kanan dengan harapan ada bentor yang lewat sehingga kami bisa menyusul bus yang ada. Sekitar 200 meter kami berjalan dan bentor pun tak kunjung tiba. Teman saya agak gusar karena dia hendak ke Makam Sunan Drajat.
Saya ajak jalan saja lurus dan tiba-tiba, ada mobil Colt berhenti dan menawari tumpangan. Alhamdulillah, kami selamat tidak jadi jalan kaki sore-sore. Lalu, saat dalam Colt itu saya bertanya kepada Pak Sopir apakah ada bus yang masih mangkal pada jam itu. Pak Sopir pun dengan nada kesal dan hopeless meyakinkan bahwa jam segitu sudah tidak ada bus lewat dan hendak menurunkan kami.
Saya pun meyakinkan Pak Sopir itu, untuk jalan lurus saja semampunya siapa tahu busnya masih ada di pertigaan Banjaranyar. Teman saya, Pak Anang, entah bertanya apa saya lupa, saya hanya menyauti, ‘wis meneng wae pak’.
Benar saja, bus tidak ada dan Pak Sopir merasa menang dengan keyakinannya. Teman saya pun ikut bingung karena kalau tidak ada bus, maka otomatis saya tidak bisa pulang ke Pasuruan. Saya pun teringat cerita Mbah Djalil, untuk tetap tenang dan pasrah-sepasrahnya kepada Allah SWT. Baru turun dari Colt 4 langkah, tiba-tiba ada seorang lelaki kekar bersarung yang menawarkan ojek. Saya pun tidak pikir panjang, langsung oke saja dan akhirnya, saya dan teman saya ini diantar ke tempat tujuan masing-masing. Saya diantar sampai ke Lamongan kota dan ditunggu oleh bapak separuh baya ini hingga saya benar-benar dapat bus ke Surabaya. Alhamdulillah, saya pun bisa pulang dan tidak kemalaman.
Sebenarnya saya tidak sedang mencoba ilmunya Mbah Djalil, tentunya jauh antara langit dan bumi. Beliau seorang Wali, tapi setidaknya saya belajar dari pasrahnya beliau dalam menghadapi masalah. Alfatihah untuk Mbah Djalil.